Apa
yang bisa kukatakan tentang ayahku . . . ayahku adalah orang yang sangat-sangat
hebat, sabar, pintar, namun telah pergi dalam waktu yang singkat. Ayahku
bernama sufathan, lahir dijember disebuah keluarga sederhana. Putra pertama
dari 7 bersaudara. Dilahirkan dikeluarga sederhana dan memiliki begitu banyak
saudara membuat ayahku tumbuh menjadi seorang pria yang sangat mandiri, hingga
kini beliau merupakan satu-satunya putra yang menamatkan kuliah itupun dengan
biaya sendiri. Pernah suatu ketika ayahku pulang untuk meminta uang untuk
ujian, namun dengan berat hati kakekku tidak memberikan uang tersebut karena
memang tidak ada, ada 6 mulut kecil yang harus diberi makan dirumah, ayahku
pulang dari rumah keasramanya berkilo-kilo meter sambil menangis, karena jika
tidak membayar pasti akan dikeluarkan karena itu hanya sekolah swasta setara
SMA. Dan dengan kasih sayang Allah, ditengah jalan ayahku menemukan uang
sejumlah yang harus dibayarkan tanpa ada tanda-tanda kepemilikan. Hanya berserakan
dijalan.
Begitu
lulus SMA ayahku hijrah kemalang, dimalang ayahku mulai menjadi guru disd kecil
dengan bayaran makan, sambil lalu beliau belajar menjahit secara otodidak dan menjahit
celana kolor lalu menjualnya, hingga punya anak sampai aku smp beliau sering
menjahit sendiri bajuku, baju ibuku, baju adekku, sampai baju seragam, sampai
saat beliau terserang stroke, beliau masih menjahit baju seragam mengajarnya
sendiri. Beliau juga ikut berbagai organisasi, dan belajar berbagai alat-alat
musik. Diantaranya : gitar, piano, orgen, biola, seruling, gendang, alat musik
hadrah,drummer dll. Beliau mengajar dibanyak sd dan juga mengajar mengaji diTPQ
desa. Untuk membiayai kuliah sarjana muda-nya. Dari hasil mengajar dan
lain-lain beliau bisa menyekolahkan 3 adiknya dan memasukkan 2 diantaranya kepesantren.
Pada umur 30 tahun beliau dikenalkan dengan ibuku dan 6 bulan kemudian mereka
menikah.
Saat
itu beliau telah diangkat menjadi pegawai negeri dengan gaji yang lumayan. Ibuku
merupakan putri dari seorang pengusaha sukses dikota. Namun itu tidak
menjadikannya seorang wanita yang manja, beliau sangat mandiri berkat didikkan
nenekku yang sangat tegas. Ibuku membuka toko kecil-kecilan diSD, yang lumayan
untuk tambahan penghasilan, karena ibuku orang yang super hemat, uang gaji
ayahku bisa untuk beli emas sebagai investasi dan kebutuhan hidup tercukupi
dari toko kecil tsb. Ibu hidup bersama 2 adik ayahku dirumah, paman dan bibiku.
Ayahku adalah sosok yang pendiam, ada sebuah kisah lucu yang diceritakan ibuku,
setiap pamanku butuh sesuatu untuk sekolahnya, paman akan menulisnya disecarik
kertas lalu menempelkannya dipintu kamar ayahku, lalu besoknya ayahku akan
memberinya, hehehehe.
Desaku
dahulu merupakan daerah yang terbelakang yang perjudian juga minuman keras
adalah barang yang tidak langka, pendidikan juga kurang, rata-rata mereka
setelah tamat sd langsung bekerja dipabrik rokok. Pertama kali ayahku datang,
beliau mengusulkan membangun mushola kecil didesa tersebut, begitu mushola
berdiri yang jadi imam ayahku dan makmumnya pamanku. Hanya berdua, namun
perlahan demi perlahan beliau mengajak tetua desa, juga beliau mengadakan acara
tahlil yang diadakan bergantian dari rumah kerumah, selain itu beliau juga
membuka TPQ dimushola itu dan mengajar disana. Begitu pula saat air sangat
sulit ditemukan didesa itu, saat itu tidak ada PDAM didesa itu, mengambilnya
harus dari sumber dikaki gunung, akhirnya beliau mengusulkan pembuatan pipa air
yang menyalurkan air, beberapa tahun kemudian rencana itu sukses dan ayahku
yang membuat rancangan penyalurannya. Begitu pula listrik, ayahku yang mengkoordinir
pembayaran listrik didesa dan membayarkannya kekantor pusat. Beliau juga
mengadakan acara maulid, muharroman, perayaan tabligh akbar dll. Yang akhirnya
diserahkan kepemuda-pemudi desa untuk diatur. Selain itu juga beliau sering
menjadi imam baik itu sholat 5 waktu maupun sholat jum’at, memimpin tahlil,
pidato maupun khutbah diacara perayaan islami.
Didepan
rumahku ada sebidang kecil lapangan, lapangan ini disemen dan dicat secara
gotong royong dan dibuat sebuah lapangan bulu tangkis pertama didesa. Untuk sekolah
maupun untuk masyarakat yang biasanya digunakan sabtu malam hingga minggu pagi
oleh warga desa. Aku ingat kalau ada lomba sangat rame juga neon-neonnya begitu
cerah dimalam yang gulita, dan sekali lagi ayahku yang mengkoordinirnya. Begitu
aku besar, aku tahu ayahku sering diminta menjadi penentu arah kiblat saat
pembangunan masjid atau mushola. Bahkan terkadang menjadi arsiteknya. Dan hal
yang begitu membuatku iri, saat ayahku tiada, menurut cerita dari guru sd
disana (karena saat itu udah pindah rumah) mushola dan masjid yang pernah
dibangun masyarakat bersama ayahku penuh dengan orang-orang yang sholat ghoib
Pernah
suatu saat didesa diadakan pemilu presiden. Dan ayahku adalah ketua panitianya,
satu desa salah semua tata cara memilihnya, dikarenakan pula mereka sangat
minim pendidikan, hanya satu pos yang benar, dan kebetulan yang
mengkoordinasinya adalah adek iparnya pamanku, yang sekolah sampai sma dan
sekarang dia jadi lurah disitu, lurah termuda. Akhirnya 3 hari ayahku tidak
pulang membenarkan kesalahan tersebut. Benar-benar pendidikan itu sangat
penting.
Saat
kami pindah keperumahan yang dibeli secara kredit tapi sanggat dibanggakan oleh
ayahku, ayahku masih dicari-cari oleh orang didesa kami dahulu. Dimintai pendapat
untuk berbagai urusan. Bahkan diperumahan yang baru ini ayahku memulai tahlil
keliling rumah tiap kamis malam jum’at, bahkan tiap tahun baru seluruh penghuni
perumahan baik itu yang berbeda agama keluar rumah untuk makan-makan bersama
dan menyulut kembang api, atau bersantai dipaving yang telah dialasi tikar
bersama-sama didepan rumah. Dan sekali lagi ayahkulah yang menjadi
provokatornya.
Aku
sadar cerita ini sangat terlalu tidak masuk akal, mungkin terasa tidak mungkin
pria seperti ayahku itu ada. tapi ini benar adanya, dan sumpah aku sangat
bangga terhadap ayahku. Aku sanggat bangga menjadi anaknya, hanya aku belum
bisa membanggakan beliau. Keinginanku terbesar saat ini adalah menghajikan
beliau. Entah kapan tapi aku akan berusaha sebisa mungkin. Dan harus bisa.
Dihari
ayahku meninggal dunia, beliau malam itu mengikuti tahlil diperumahan dan
didaulat untuk membaca doa, kemudian bersantai hingga pukul 11 malam
bersama-sama orang-orang ditahlilan. Kemudian beliau kerumah kami yang sekarang
didinoyo dalam keadaan hujan gerimis. Kebetulan ibuku membuka warung kecil
didinoyo, dirumahnya almarhum nenekku. Dan kuliahku juga dekat dengan lokasi
dimana aku tinggal sekarang, sekalian membantu untuk biaya berobat ayahku yang
terkena stroke, dan saat itu penyakitnya sudah mulai sembuh. Tapi malam itu
rupanya Tuhan berkehendak lain, menurut pengamatanku yang baru tahu setelah
ayahku tiada dari tanda-tandanya, angin malam yang dingin membuat ayahku
terkena angin duduk. Dimana jika sudah terserang merupakan sebuah pantangan
untuk merebahkan diri. Malam itu sampai dirumah ayahku mengeluh kedinginan,
lalu ibuku berinisiatif membuatkan air hangat yang ditaruh botol untuk
menghangatkan, namun saat ayahku berbaring, beliau menyebut Allah Allah Allah
dan kemudian tertidur, dan tak membuka matanya lagi. Begitu tenang dan seperti
orang yang tertidur, wajahnya seakan kembali muda 20 tahun, adik ibuku yang
tinggal dibelakang rumah kupanggil, lalu beliau mengatakan ayahku telah tiada
namun menyarankan untuk tidak mengatakan pada ibuku yang masih berusaha
menghangatkan badan ayahku dengan botol berisi air hangat, ibu mengelak jika
ayah hanya tertidur, lalu aku menghubungi bulekku agar bisa mengantar ayahku
kerumah sakit UNISMA, yang terdekat dengan tempat tinggalku, bulekku begitu
datang juga telah mengetahui situasinya. Tanganku bergetar, jantungku berdetak
cepat, aku takut sekaligus harus kuat sebagai anak tertua, setelah dokter
menetapkan status ayahku yang telah tiada, aku menelfon keluarga ayahku, aku
hanya bilang ayah af’al (sakit parah), sedang keluarga ibuku, bulekku yang
menghubungi, paman dan bibiku segera meluncur kerumah perumahan, begitupula aku,
ibu dan ayahku. Begitu sampai rumah dan tahu ayahku telah tiada, pamanku dan
bibiku langsung menangis histeris, sedangkan aku bertahan, aku tidak boleh
menangis atau terlalu berduka, aku harus kuat, atau aku hanya akan membuat
ibuku lebih sedih jika aku jatuh dalam kondisi tidak sehat. Karena kondisiku
mensyaratkan aku untuk tidak boleh terlalu larut dalam kepedihan. Aku mengabarkan
ini keadikku yang ada dipesantren, tapi pukul 2 aku meminta kakakku untuk
menjemput adikku, dimobil aku mulai tak sanggup menahan air mataku, dan dengan
cukup tegar aku memberi tahu adikku bahwa ayah telah tiada. Bahkan memandikan
ayahku, aku tak sanggup. Semoga Allah melapangkan kubur ayahku, meniadakan siksa,
dan diberi kenikmatan kubur dan digolongkan orang-orang yang masuk surga. Amin.
No comments:
Post a Comment